SOLAR CELL ORGANIK ALTERNATIF PENGGANTI SILIKON PADA SOLARCELL (Dye Sensitized Solar Cell)




Energi merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat karena hampir semua aktivitas manusia membutuhkan energi. Total kebutuhan energi di seluruh dunia mencapai 10 Terra Watt (setara dengan 3 x 1020 Joule/tahun) dan diprediksi jumlah ini akan terus meningkat hingga mencapai 30 Terra Wattt pada tahun 2030, sedangkan bahan bakar fosil yang menjadi sumber energi terbesar terus mengalami keterbatasan. Bahan bakar fosil saat ini menyediakan mayoritas energi yang dikonsumsi oleh seluruh dunia, kira-kira 82% dari seluruh sumber energi (International Energy Agency, 2013).
   Sumber energi terbesar yang tersedia di bumi adalah energi radiasi yang diproduksi oleh reaksi nuklir yang berasal dari matahari. Menurut Tethy Ezonkanzo (2013), Matahari memancarkan energi sebesar 1000 watt permeter persegi saat cuaca cerah ke permukaan bumi. Kira-kira, ada 30% energi matahari di pantulkan kembali ke angkasa, 40% dikonversikan menjadi panas, dan sekitar 23% energi matahari di pakai untuk berbagai sirkulasi kerja di permukaan bumi. Energi matahari yang terpancar juga ada yang di tampung angin, gelombang, dan arus sebesar 0,25%. Tak ketinggalan, tumbuhan juga menggunakan energi matahari untuk proses fotosintesis sebesar 0,025%. Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, bisa menyerap energi matahari dengan intensitas antara 0.6 - 0.7 KW per meter persegi. Energi yang melimpah tersebut akan percuma jika tidak dimanfaatkan, sehingga diperlukan sebuah alat yang mampu menerima dan mengkonversi energi radiasi matahari menjadi energi listrik atau energi lain yang bisa dimanfaatkan. Alat untuk mengkonversi energi radiasi matahari menjadi energi listrik salah satunya adalah sel surya.

   Sel surya merupakan suatu mekanisme yang bekerja berdasaarkan efek fotovoltaik dimana foton dari radiasi matahari diserap kemudian dikonversikan menjadi energi listrik di dalam bahan sebagai akibat penyerapan cahaya dari bahan tersebut. Efek fotovoltaik pertama kali ditemukan oleh Becquerel pada tahun 1839. Becquerel mendeteksi adanya tegangan foton ketika sinar matahari mengenai elektroda pada larutan elektrolit. Pada tahun 1954, trio Bell Laboratories, Chapin, Fuller dan Pearson, menemukan sebuah fenomena p-n junction yang dapat mengubah radiasi sinar matahari menjadi tenaga listrik pertama kalinya dan material yang dipergunakan yaitu berupa silikon (Si), namun mahalnya biaya silikon membuat biaya konsumsinya lebih mahal dari pada sumber energi fosil. Secara umum, pengembangan teknologi sel surya di seluruh dunia dihadapkan pada dua hal yaitu bagaimana meningkatkan efisiensi sel surya semaksimal mungkin, dan cara menurunkan harga sel surya. Sel surya yang murah bisa dibuat dari bahan semikonduktor organik. Hal ini karena semikonduktor organik dapat disintetis dalam jumlah besar. Meskipun demikian efesiensinya jauh dibawah sel surya silikon. Oleh karena ini penelitian terhadap material organik sebagai bahan dari sel surya masih perlu terus dikembangkan (Lehninger,1982).

   Seiring dengan perkembangan nanoteknologi, sel surya generasi ketiga yang berbasis nanoteknologi mulai dikembangkan. Sistem fotovoltaik generasi ketiga ini dikembangkan oleh Grätzel pada 1991 dengan sistem ini dinamakan sel surya pewarna tersintesis atau DSSC (dye-sensitized solar cell). Mekanisme ini menunjukkan absorbsi optis dan proses pemisahan muatan melalui asosiasi suatu sensitizer sebagai bahan penyerap cahaya dengan suatu semikonduktor nanokristal yang mempunyai bandgap lebar (Grätzel, 2003).

  
DSSC merupakan salah satu kandidat potensial sel surya generasi mendatang, hal ini dikarenakan tidak memerlukan material dengan kemurnian tinggi sehingga biaya proses produksinya yang relatif rendah. Berbeda dengan sel surya konvensional dimana semua proses melibatkan material silikon itu sendiri, pada DSSC absorbsi cahaya dan separasi muatan listrik terjadi pada proses yang terpisah. Absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye, dan separasi muatan oleh inorganik semikonduktor nanokristal yang mempunyai band gap (energi celah) lebar. Penggunaan semikonduktor dengan bandgap lebar akan memperbanyak elektron yang mengalir dari pita konduksi ke pita valensi, karena dengan band gap yang lebar tersebut akan membuat ruang reaksi fotokatalis dan adsorbsi oleh dye akan menjadi lebih banyak atau dengan kata lain spektrum adsorbsi menjadi lebar.

   Salah satu semikonduktor ber-bandgap lebar yang sering digunakan yaitu Titanium Dioxide (TiO2). TiO2 mempunyai band gap sebesar 3,2 – 3,8 eV dan menyerap sinar pada daerah ultraviolet. Material ini dipilih karena memiliki banyak keuntungan diantaranya murah, pemakaian luas, tidak beracun, serta banyak pula digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produk-produk kesehatan serta sebagai pigmen cat (Grätzel, 2003). Namun untuk aplikasinya dalam DSSC, TiO2 harus memiliki permukaan yang luas sehingga dye yang teradsorbsi lebih banyak yang hasilnya akan meningkatkan arus. Selain itu penggunaan bahan dye yang mampu menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi TiO2 juga merupakan karakteristik yang penting.

   Dye dapat berupa dye alami maupun dye sintetis. Dye sintesis umunya menggunakan organik logam berbasis ruthenium komplek, black dye, N719, C101 dengan efisiensi ~ 11%. Sedangkan dye alami ini berasal dari berbagai macam pigmen seperti antosianin, klorofil, dan xantofil yang dapat diperoleh dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah maupun biji. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah banyak digunakan sebagai fotosensitizer pada sistem sel surya tersensitisasi dye alami namun efisiensi dye sintesis masih lebih tinggi dari pada dye alami yang hanya ~1%. Namun penggunaan dye sintesis memiliki kekurangan diantaranya preparasi yang sulit, biaya produksi yang mahal serta beresiko toksik terhadap lingkungan. Sehingga penggunaan dye alami menjadi alternatif yang sangat menarik untuk dikembangkan dikarenakan mudah diperoleh, sumbernya tidak terbatas, memiliki koefisien absorbsi yang panjang, efesiensi menangkap cahaya tinggi, biaya produksi murah, preparasinya mudah dan ramah lingkungan.

   Kriteria dye yang dapat digunakan sebagai sensitiser yaitu intensitas adsorbsi berada pada panjang gelombang visible, adsorbsi yang kuat pada permukaan semikonduktor, memiliki gugus =O atau –H untuk berikatan dengan permukaan TiO2 yang dapat meningkatkan laju reaksi transfer elektronnya (Ludin et. al., 2014). Para peneliti DSSC di Indonesia telah mencoba berbagai jenis dye alami dari bagian-bagian tumbuhan yang memiliki pigmen diantaranya kulit manggis, bunga rosela, bunga sepatu, daun bayam, buah naga, biji delima dan sebagainya.

Prinsip Kerja DSSC
 
Prinsip kerja pada DSSC secara sistematik dapat ditunjukan pada gambar diatas, dan proses yang terjadi di dalam DSSC dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Ketika foton dari sinar matahari menimpa elektroda kerja pada DSSC, energi foton tersebut diserap oleh dye yang melekat pada permukaan partikel TiO2. Sehingga dye mendapatkan energi untuk dapat tereksitasi (Dye*).
Dye + Cahaya        >       Dye*                                                                  
2.      Dye tereksitasi membawa energi dan diinjeksikan ke pita konduksi TiO2 dimana TiO2 bertindak sebagai akseptor atau kolektor elektron. Molekul dye yang ditinggalkannya kemudian dalam keadaan teroksidasi (Dye+). Elektron foton yang diinjeksikan ke molekul TiO2 akan bergerak secara difusi ke sepanjang bagian atas dari elektroda kerja berupa lapisan konduktif transparan ITO (Indium Tin Oxide)
Dye* + TiO2     >        e- (TiO2) + Dye+                                                  
3.      Selanjutnya energi yang dibawa elektron akan ditransfer melewati rangkaian luar menuju elektroda pembanding (elektroda karbon).
4.      Elektrolit redoks biasanya berupa pasangan iodide dan triiodide (Iˉ/I3ˉ) yang bertindak sebagai mediator elektron sehingga dapat menghasilkan proses siklus dalam sel. Triiodide (I3-) dari elektrolit yang terbentuk akan menangkap elektron yang berasal dari rangkaian luar dengan bantuan molekul karbon sebagai katalis. Elektron yang tereksitasi masuk kembali ke dalam sel dan dibantu oleh karbon sehingga dapat bereaksi dengan elektrolit yang menyebabkan penambahan ion iodida pada elektrolit (reaksi oksidasi).
I3- + 2e- (katalis)    >    3I-                                                                                                  
5.      Kemudian satu ion iodide pada elektrolit menghantarkan elektron yang membawa energi menuju dye teroksidasi. Elektrolit menyediakan elektron pengganti untuk molekul dye teroksidasi. Sehingga dye kembali ke keadaan awal dengan persaamaan reaksi (reaksi reduksi) (O’regan dan Gratzel, 1991)..
2D+ + 3I -        >        I3- + 2D                                                                   
Tegangan yang dihasilkan oleh sel surya nanokristal tersensitasi dye berasal dari perbedaan tingkat energi konduksi elektroda semikonduktor TiO2 dengan potensial elektrokimia pasangan elektrolit redoks (Iˉ/I3ˉ). Sedangkan arus yang dihasilkan dari sel surya ini terkait langsung dengan jumlah foton yang terlibat dalam proses konversi dan bergantung pada intensitas penyinaran serta kinerja dye yang digunakan (Li B, dkk,2006)

1 تعليقات

إرسال تعليق